Wajarkah Suatu Negara Beli Alutsista Bekas?
Kepemimpinan Prabowo dihadapkan pada kritik keras terkait alokasi dana Rp700 triliun untuk pembelian alutsista bekas dalam Pilpres 2024
Podnografi' Jakarta - Pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) bekas oleh Indonesia di masa kepemimpinan Menteri Pertahanan dan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, menjadi pusat perhatian dalam debat ketiga Pilpres 2024. Debat yang memanaskan dari segmen satu hingga lima ini membuka diskusi tentang kebijakan kontroversial ini.
Paslon nomor urut 1, Anies Baswedan, mengkritik keras alokasi dana sebesar Rp700 triliun untuk Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh Prabowo. Anies menyatakan bahwa dana tersebut seharusnya digunakan untuk tujuan lain, bukan untuk membeli alutsista bekas.
Ganjar, paslon nomor urut 03, menyoroti pentingnya transfer teknologi dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pembelian alutsista bekas. Ia menekankan prinsip "no utang, no usang" dan menginginkan transfer teknologi dari dalam negeri.
Prabowo memberikan tanggapannya dengan menjelaskan alasan di balik keputusan pembelian alutsista bekas. Ia menekankan bahwa faktor usia alutsista menjadi pertimbangan utama, dan pembelian alutsista baru membutuhkan waktu yang lama, sementara negara memerlukan kemampuan pertahanan yang segera dapat digunakan.
Broto Wardoyo, seorang akademisi Ilmu Hubungan Internasional, menyatakan bahwa keputusan pembelian alutsista haruslah didasarkan pada kondisi keamanan dan ancaman yang dihadapi suatu negara. Pembelian alutsista bekas dapat dianggap sebagai langkah yang masuk akal jika negara tersebut menghadapi ancaman peperangan yang nyata.
Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional, menambahkan dimensi positif pada pembelian alutsista bekas. Ia menilai bahwa praktik ini merupakan langkah normal dalam meningkatkan kekuatan militer suatu negara. Reza juga melihat manfaat dalam mempelajari teknologi canggih dari alutsista bekas, sehingga negara pembeli dapat menjadi lebih ahli dan bahkan berperan sebagai konsultan bagi negara lain dalam jangka panjang.
Meskipun pembelian alutsista bekas dapat dianggap sebagai langkah yang rasional dalam meningkatkan kemampuan pertahanan suatu negara, tetap muncul pertanyaan kritis. Apakah negara tersebut benar-benar menghadapi ancaman yang memaksa atau seharusnya lebih berfokus pada pengembangan teknologi pertahanan yang lebih canggih?
Pertanyaan ini menjadi pokok pembahasan di tengah sorotan masyarakat terhadap kebijakan pertahanan yang diambil oleh Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Pilihan strategi pertahanan ini tidak hanya menciptakan kontroversi di dalam negeri tetapi juga mengundang perhatian global terhadap dinamika keamanan di Asia Tenggara.
What's Your Reaction?